Refleksi Diri Lewat Bantuan AI di Balik Tren Viral 'What's My Curse'

3 days ago 3
Jakarta -

Beberapa waktu lalu viral tren 'What's my curse' di media sosial. Netizen membagikan tangkapan layar percakapan dengan chatbot artificial intelligence (AI) ChatGPT bertanya soal 'kutukan' pribadi yang mengacu pada perasaan atau kebiasaan negatif pada hidup.

ChatGPT biasanya akan memberikan memberikan jawaban seperti 'sering menolong orang lain tapi lupa dengan diri sendiri' atau 'seringkali punya ide atau pikiran yang bagus, tapi tidak pernah berani melakukannya'. Tren ini akhirnya dijadikan ajang untuk melakukan refleksi diri, tapi dengan cara yang sederhana dengan chatbot AI.

Kenapa Jawaban Chatbot AI Terasa Akurat?

Psikolog klinis Ghina Sakinah Safari menuturkan munculnya tren ini menunjukkan besarnya kebutuhan orang untuk melihat diri secara reflektif. Menurutnya, jawaban chatbot AI biasanya akan bersifat umum tapi dekat dengan masyarakat sehingga terasa akurat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jawaban dari chatbot biasanya bersifat generik namun relatable, seperti 'terlalu mikirin orang lain tapi lupa diri sendiri'. Ini mirip dengan cara kerja horoskop atau tes kepribadian di internet, terasa akurat karena sifatnya luas tapi menyentuh tema umum kehidupan manusia," kata Ghina ketika dihubungi detikcom, Senin (28/7/2025).

Ia meyakini tren ini memiliki sejumlah hal positif. Pertama adalah meningkatkan kesadaran diri terkait kepribadian dan emosi. Menurutnya, ini bisa menjadi titik awal seseorang untuk merenung atau membuka diskusi tentang diri.

Selain itu, ini juga bisa menjadi media ekspresi diri. Ghina menuturkan ini bisa menjadi cara aman untuk membuka pembicaraan soal emosi tanpa terlalu serius.

"Merasa 'terlihat' dan terhubung. Apalagi jika hasilnya dibagikan ke media sosial, ada rasa bahwa 'aku nggak sendirian merasakannya'," ujar Ghina.

Potensi Bahaya Tren 'What's My Curse'

Meski begitu, Ghina menilai ada beberapa potensi berbahaya yang mungkin ditimbulkan dari tren ini. Misalnya apa yang diungkapkan chatbot sebenarnya tidak akurat dan bisa saja menyesatkan.

Tidak semua 'kutukan' yang disebut oleh chatbot AI relevan secara psikologis dan belum tentu sesuai dengan konteks kondisi psikologis seseorang.

"Selain itu, bisa menstempel diri secara negatif. Misalnya, seseorang mulai percaya bahwa ia 'selalu menjadi korban' hanya karena prompt AI menyebut begitu," jelas Ghina.

Terakhir, menurut Ghina ada potensi efek candu refleksi negatif dari tren ini. Terlalu sering mencari makna dari chatbot bisa membuat seseorang bergantung untuk mendapatkan validasi diri.

Kebiasaan Curhat ke Chatbot, Normal atau Tidak?

Normal atau tidaknya kebiasaan curhat ke chatbot AI tergantung dari tujuan dan frekuensi. Curhat ke chatbot masih bisa dianggap normal jika seseorang sekedar ingin meluapkan pikiran atau mencari saran awal sebelum bertemu profesional kesehatan mental seperti psikolog atau dokter jiwa.

"Tapi jika seseorang mulai menggantikan peran manusia (teman, keluarga, atau terapis) dengan chatbot, atau merasa lebih nyaman berbicara dengan AI daripada manusia, ini bisa jadi tanda keterisolasian emosional," ungkapnya.

Ghina mengingatkan chatbot AI tidak menyimpan informasi pengguna secara personal. Jangan membagikan data pribadi sensitif ke dalam chatbot.

Selain itu, penting untuk diingat chatbot bukanlah pengganti profesional kesehatan mental. Untuk mendapatkan diagnosis atau terapi, bantuan profesional harus diutamakan.

Simak Video "Video Elon Musk soal Grok 3: Penalarannya Sangat Kuat"
[Gambas:Video 20detik]
(avk/kna)


Read Entire Article