
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump bertemu di Gedung Putih, Senin (8/7). Pertemuan dua pemimpin negara itu ternyata untuk membahas rencana pemindahan paksa ribuan warga Palestina dari Gaza.
Saat bersamaan perundingan gencatan senjata tak langsung antara Hamas dan Israel sedang berlangsung di ibu kota Qatar, Doha.
Seusai bertemu Trump, Netanyahu mengakui sedang melobi negara lain untuk menerima warga Gaza. Netanyahu mengincar negara-negara tetangga Israel sebagai tempat pemindahan paksa warga Palestina di Gaza.
“Bila mereka mau bertahan, mereka bisa bertahan, tapi jika mau pergi, harusnya mereka bisa pergi. Ini bukan penjara. Ini harusnya tempat terbuka dan memberi rakyat pilihan,” kata Netanyahu seperti dikutip dari Al-Jazeera.
“Kami bekerja sama erat dengan AS untuk mencari negara yang menyadari apa yang mereka selalu bilang yaitu mereka ingin masa depan cerah bagi rakyat Palestina. Saya pikir kami sudah dekat dalam menemukan beberapa negara,” sambung dia.
Pelanggaran Kemanusiaan

Rencana pemindahan paksa warga Gaza ditolak oleh ahli hukum internasional, Ralph Wilde. Dia menyebut rencana itu ilegal karena tindakan itu merupakan bagian serangan langsung Israel terhadap penduduk Palestina di Gaza.
Wilde menekankan jika pemindahan terwujud maka itu adalah pelanggaran kemanusiaan oleh negara hingga individu.
“Terakhir, hal ini juga merupakan genosida, hal ini merupakan bagian dari proses yang sedang berlangsung yang bertujuan untuk menjatuhkan kondisi kehidupan rakyat Palestina yang bertujuan untuk menghancurkan mereka secara keseluruhan atau sebagian,”kata Wilde.
Indonesia dan Arab Saudi Tolak Relokasi
Isu relokasi warga Gaza mulai menggaung sejak Trump terpilih sebagai Presiden AS.
Dalam kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi pada 2 Juli 2025, Presiden Prabowo dan Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) sepakat untuk menolak rencana relokasi warga Gaza.
"Mereka [Prabowo dan MBS] menyatakan penolakan penuh atas pemindahan warga Palestina di dalam atau di luar wilayah mereka, dengan menganggapnya sebagai pelanggaran hukum internasional yang nyata," demikian bunyi pernyataan bersama kedua pemimpin.
Tony Blair Institute Bantah Ikut Proyek Ubah Gaza

Media Financial Times melaporkan Tony Blair Institute for Global Change (TBI) terlibat dalam proyek pembangunan kembali Gaza yang dinamakan "Trump Riviera".
Proyek yang dipimpin para pebisnis Israel dan menggunakan model keuangan yang dikembangkan firma konsultasi AS Boston Consulting Group (BCG) ini tengah mengembangkan visi Presiden AS Donald Trump yang ingin mengambil alih wilayah Palestina dan mengubahnya menjadi resor di Timur Tengah.
TBI membantah laporan tersebut. TBI mengatakan tidak terlibat dalam proyek itu.
"Tony Blair sendiri tidak bicara dengan orang-orang yang mempersiapkan dokumen maupun mengomentarinya. Tim TBI berbicara dengan berbagai kelompok dan organisasi yang memiliki rencana pascaperang untuk Gaza, tapi tidak terlibat dalam penyusunan rencana ini," kata juru bicara TBI.
"Staf TBI berpartisipasi dalam dua panggilan telepon, seperti yang mereka lakukan dengan orang lain yang memiliki 'rencana Gaza' dan berinteraksi dengan mereka tidak berarti dukungan. Namun, kami tidak terlibat dalam penyusunan dokumen, dan jelas ini bukan pekerjaan TBI atau pekerjaan bersama sehingga sepenuhnya salah jika dikatakan demikian".
"Tentu kami menolak segala rencana yang mencoba membuat warga Gaza meninggalkan Gaza. Kami ingin mereka tetap tinggal dan hidup di Gaza," kata pernyataan itu lagi.
Juru bicara itu melanjutkan, pekerjaan TBI di kawasan selalu didedikasikan untuk membangun Gaza yang lebih baik lagi bagi Palestina.
"Tony Blair telah mengupayakan ini sejak meninggalkan jabatannya. Ini bukan tentang merelokasi warga Gaza, proposal yang tidak pernah disusun, dikembangkan, atau didukung TBI susun," pungkasnya.