Seiring meningkatnya desakan masyarakat agar KPU menghadirkan keterbukaan data demi menjamin pemilu yang jujur, adil dan berintegritas, muncul pula berbagai pertanyaan yang mencerminkan harapan publik terhadap transparansi lembaga penyelenggara pemilu.
Sebagai penyelenggara, saya pribadi kerap menerima pertanyaan serupa dari beberapa sahabat, teman, maupun sebagian rekan-rekan media: “Mengapa data pemilih tidak dibuka sepenuhnya?”
Sekilas, pertanyaan itu terdengar sederhana. Namun di baliknya tersimpan persoalan yang cukup dilematis, tentang bagaimana KPU menyeimbangkan dua hal yang sama-sama penting: hak publik untuk mengetahui dan kewajiban negara untuk melindungi privasi setiap warga negara.
Inilah dilema yang menjadi dasar setiap keputusan KPU dalam mengelola data pemilih: menjaga kepercayaan publik melalui keterbukaan, tanpa mengorbankan hak konstitusional warga atas perlindungan data pribadi mereka.
Keterbukaan informasi adalah roh demokrasi. Ia memungkinkan publik mengawasi jalannya proses politik, termasuk memastikan daftar pemilih tersusun dengan benar dan tanpa manipulasi. Namun, di balik semangat transparansi, ada batas yang harus dijaga. Karena setiap nama dalam daftar pemilih bukan sekadar data administratif, melainkan identitas manusia yang dilindungi undang-undang.
Keterbukaan yang Bertanggung Jawab
Keterbukaan adalah satu dari sebelas prinsip (mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien) penyelenggaraan pemilu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Meski begitu, keterbukaan semestinya harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab. Dalam konteks data pemilih, setiap informasi yang dibuka idealnya harusnya memiliki batas, karena transparansi tanpa perlindungan dapat berujung pada kerentanan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menegaskan bahwa pada dasarnya setiap informasi yang dikelola badan publik bersifat terbuka. Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 menempatkan keterbukaan sebagai kewajiban, sementara Pasal 17 huruf h mengingatkan adanya informasi yang dikecualikan, yakni yang mengandung rahasia pribadi.
KPU sebagai lembaga publik tentu wajib tunduk pada ketentuan ini. Data pemilih memang bersifat publik dalam konteks pengawasan pemilu secara khusus dan partisipasi masyarakat secara umum, tetapi tidak seluruh komponennya dapat dibuka tanpa batas. NKK, NIK, tempat dan tanggal lahir pemilih termasuk alamat lengkap dan detil adalah bagian dari data pribadi yang harus diperlakukan dengan hati-hati.
Kehati-hatian itu kini menjadi semakin penting setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Dalam ketentuan Pasal 27 ditegaskan, pengendali data wajib memproses informasi pribadi secara terbatas, spesifik, dan sah secara hukum. Artinya, bahwa KPU tidak hanya berkewajiban menyediakan informasi publik, tetapi juga memikul tanggung jawab hukum untuk melindungi data individu dari kebocoran atau penyalahgunaan.
Dilema Regulasi dan Tanggung Jawab Kelembagaan
Pada tataran pelaksanaan, hubungan antara kedua regulasi ini sering menimbulkan perbedaan tafsir. Dorongan sebagian kalangan untuk mengakses daftar pemilih secara penuh adalah bentuk partisipasi demokrasi yang patut diapresiasi. Namun di sisi lain, risiko kebocoran data yang mengandung identitas pribadi juga nyata. Kasus jual beli data penduduk di tahun 2019 (sumber :Youtobe CNN Indonesia), penyalahgunaan identitas, dan penipuan digital menjadi pengingat bahwa keterbukaan tanpa batas dapat membawa konsekuensi serius.
KPU berada di tengah dua kepentingan yang sama-sama sah. Membuka Daftar Pemilih di ruang publik agar masyarakat dapat melakukan pengecekan, namun dengan menyamarkan elemen sensitif seperti NIK, NKK dan detail ...