Bagaimana Proyeksi Emiten Sawit RI di Tengah Bayang-Bayang Tarif Trump?

2 weeks ago 15
 Wahyudi/AFPPengiriman CPO ke Truk Angkut. Foto: Wahyudi/AFP

Pengenaan tarif oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebesar 32 persen terhadap sejumlah produk asal Indonesia, termasuk minyak sawit mentah (CPO), memicu kekhawatiran pasar komoditas.

Emiten-emiten sawit nasional kini dibayangi risiko koreksi valuasi akibat potensi penurunan ekspor dan tekanan margin laba.

Pengamat pasar modal sekaligus Analis Reliance Sekuritas, Lanjar Nafi, menilai jika kebijakan tersebut resmi berlaku pada 1 Agustus 2025.

Dia memproyeksikan banyak analis akan merevisi turun rekomendasi terhadap saham-saham dari sektor CPO, seperti, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Tbk (LSIP), PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), dan PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA).

"Jika tarif tersebut diterapkan, mayoritas analis sekuritas kemungkinan besar akan merevisi turun atau men-downgrade rekomendasi untuk saham-saham di sektor CPO," kata Lanjar, kepada kumparan, Rabu (9/7).

 Rizky Lutfiansyah/kumparanHamparan kebun sawit di Siak, Riau. Dari pohon sawit inilah berbagai macam olahan minyak sawit dihasilkan dan berkualitas ekspor. Foto: Rizky Lutfiansyah/kumparan

Lanjar menjelaskan, tekanan yang mungkin terjadi mencakup penurunan volume ekspor, harga jual rata-rata CPO, hingga margin keuntungan. Semua ini akan berimbas pada valuasi wajar saham yang lebih rendah dari sebelumnya.

"AALI dan LSIP pendapatan mereka sangat bergantung pada CPO sehingga kedua saham ini menurut saya akan paling berdampak. SIMP dan TBLA saya lihat memiliki ketahanan lebih sedikit baik karena mereka memiliki bisnis hilirisasi seperti oleokimia dan beberapa produk turunan lain," lanjutnya.

Meski demikian, Lanjar melihat belum terlihat adanya aksi rebalancing signifikan terhadap sektor sawit. Namun, jika kebijakan tarif benar-benar diimplementasikan pada 1 Agustus 2025, potensi pergeseran portofolio tetap terbuka.

Lanjar juga menyoroti dampak terhadap valuasi Price to Earnings (P/E) dan Price to Book Value (PBV) emiten sawit.

"Di saat terjadi penurunan laba bersih akibat peningkatan tarif dan penurunan volume ekspor tentu secara otomatis mempengaruhi valuasi P/E, namun tidak langsung ke valuasi PBV," jelasnya.

Kepala Ekonom Bank BCA David Sumual di Hotel Marianna Samosir, Minggu (28/4). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparanKepala Ekonom Bank BCA David Sumual di Hotel Marianna Samosir, Minggu (28/4). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan

Sementara itu, dari sisi makroekonomi, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, menilai pasar masih menunggu hasil negosiasi tarif secara final hingga tanggal 1 Agustus 2025.

Oleh karena itu, menurutnya, belum ada dampak langsung yang terasa saat ini, termasuk dari sisi pergerakan portofolio institusi.

"Sepertinya masih menunggu negosiasi tarif lanjutan sampai deadline tanggal 1 Agustus 2025. Sehingga belum ada dampak pada sektor CPO dan indikasi rebalancing," kata David.

Meski begitu, David mengakui kebijakan ini berpotensi menjadi sentimen negatif, terlebih karena munculnya proyeksi penurunan ekspor dari pelaku industri.

"Bisa jadi sentimen negatif, tapi pelaku juga sudah mulai diversifikasi pasarnya juga," imbuhnya.

Sebelumnya, ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat (AS) kemungkinan bakal turun imbas tarif sebesar 32 persen yang diberlakukan pada 1 Agustus 2025.

Malaysia sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua dinilai berpotensi mendapatkan pangsa pasar atas situasi ini.

Dikutip dari Reuters, Indonesia dan Malaysia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, tetapi Indonesia sejauh ini merupakan pemasok terbesar ke AS, menyumbang 85 persen dari total impornya tahun lalu.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Hadi Sugeng menyebutkan jika tarif baru tersebut berlaku, hal itu dapat menyebabkan penurunan pengiriman minyak sawit Indonesia ke AS sebesar 15-20 persen.

“Daya saing minyak sawit akan menurun terhadap minyak nabati lain seperti minyak kedelai dan minyak lobak, terutama jika negara pengekspor minyak nabati ini menerima tarif yang lebih rendah,” katanya, dikutip Rabu (9/7).

Read Entire Article