Lampung Geh, Bandar Lampung – Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung menggelar pelatihan jurnalistik bertema konservasi satwa liar, khususnya kukang, di Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Pelatihan yang berlangsung selama tiga hari ini diikuti oleh 20 jurnalis dari berbagai media cetak dan daring di Provinsi Lampung.
Para peserta mendapat materi dari sejumlah narasumber dan mengikuti praktik lapangan di dua lokasi, yakni kawasan konservasi kukang di Kecamatan Air Naningan dan area Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sumber Makmur melalui jalur Bendungan Batutegi.
Manajer Program Resiliensi Habitat YIARI, Aris Hidayat menjelaskan, kolaborasi ini bertujuan memperkuat narasi penyelamatan lingkungan melalui jurnalisme.
Menurutnya, konservasi tidak bisa dilepaskan dari pendekatan komunikasi publik yang kuat.
“Pelatihan ini bukan hanya kegiatan teknis, tetapi bagian dari strategi jangka panjang untuk membangun narasi penyelamatan lingkungan berbasis jurnalisme,” ujarnya.
Aris menambahkan, Lampung merupakan salah satu wilayah dengan tekanan tinggi terhadap hutan, di antaranya akibat alih fungsi lahan, konflik manusia dan satwa, serta perdagangan ilegal satwa liar.
“Dalam kasus konflik satwa, seperti harimau di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), banyak pemberitaan yang tidak berimbang dan justru menyudutkan satwa, tanpa mengulas akar masalah seperti kerusakan habitat,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peran ekologis kukang, yang kerap disalahpahami masyarakat.
“Kukang memakan kulit buah kopi, bukan buahnya, sehingga justru bermanfaat bagi petani. Ini fakta penting yang perlu diketahui publik,” ungkapnya.
Ketua AJI Bandar Lampung, Dian Wahyu Kusuma, menegaskan pentingnya jurnalisme konservasi untuk mendukung pelestarian lingkungan. Ia menilai liputan isu konservasi masih minim perhatian di media arus utama.
“Tantangannya terletak pada keterbatasan ruang di media, kurangnya dukungan redaksi, dan lemahnya pemahaman jurnalis terhadap isu lingkungan,” kata Dian.
Ia berharap pelatihan ini mendorong perubahan dalam praktik pemberitaan dan kebijakan redaksional agar isu konservasi menjadi bagian penting dalam agenda media.
“Jurnalisme konservasi harus mampu tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mendorong perubahan kebijakan,” tegasnya.
Salah satu pemateri, Hendry Sihaloho, menekankan pentingnya pendekatan mendalam dalam peliputan isu konservasi.
Menurutnya, jurnalis tidak cukup hanya melaporkan fakta di lapangan, tetapi juga harus menggali akar permasalahan.
“Kita sering hanya fokus pada apa yang terjadi, padahal penting juga menjawab mengapa hal itu terjadi,” ujarnya.