Label Halal dan Martabat Warung Makan Kita

4 hours ago 3
Ilustrasi logo Halal. Foto: Shutterstock

Di tengah hiruk pikuk kota, warung makan adalah denyut nadi kehidupan sehari-hari. Dari warung tegal di pinggir jalan, warung sunda di perempatan jalan menuju area perkantoran sampai rumah makan Padang di sudut gang, semuanya adalah wajah paling nyata dari ekonomi rakyat. Di situlah orang kantoran melepas penat dengan sepiring nasi rames, sopir ojek daring mengisi tenaga dan mahasiswa mencari makan murah sebelum kuliah. Maka ketika pemerintah meluncurkan program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI), gaungnya langsung menyentuh lapisan terdalam masyarakat.

Lebih dari Sekadar Stempel

Bagi sebagian orang, sertifikasi halal terdengar sebagai urusan birokrasi: berkas, cap, nomor dan stempel. Namun bagi jutaan pelaku usaha kecil, ia bukan sekadar kertas. Label halal adalah tanda pengakuan, simbol kepercayaan, bahkan modal sosial yang bisa mengangkat sebuah warung kecil ke level berikutnya. Hingga akhir 2023, satu juta UMKM sudah bergabung dalam program ini. Angkanya terlihat besar, tetapi jika dibandingkan target 10 juta sertifikasi pada 2025, jalan yang harus ditempuh masih panjang.

Masalahnya, banyak pemilik warung masih menganggap halal semata-mata soal “tidak menjual babi”. Anggapan itu terlalu sederhana, bahkan keliru. Halal bukan sekadar larangan, tetapi sebuah sistem yang menyangkut cara kita memperlakukan bahan, mengolah makanan dan menjaga kebersihan. Ia bukan hanya sebuah label, melainkan juga cerminan dari perilaku hidup sehari-hari.

Di sinilah muncul tantangan terbesar: bagaimana membawa kesadaran itu ke ruang-ruang dapur kecil, ke meja yang setiap hari dijejali piring pelanggan, ke tangan-tangan yang sibuk menyiapkan sambal, gorengan atau kuah gulai. Ketika bicara halal, kita sedang bicara tentang tanggung jawab kolektif, bukan hanya administrasi di atas kertas.

Bagi konsumen, terutama mayoritas Muslim di negeri ini, label halal bukan hanya soal agama, tetapi juga soal rasa aman. Mereka ingin yakin bahwa apa yang masuk ke tubuh mereka bukan sekadar enak, tetapi juga terjamin asal-usulnya. Itulah mengapa program SEHATI sebenarnya lebih dari sekadar “proyek sertifikasi”. Ia adalah upaya negara memperkuat ikatan antara produsen dan konsumen, antara penjual dan pembeli dengan fondasi kepercayaan.

Self-Declare: Janji Moral, Bukan Formalitas

Namun kepercayaan tidak lahir begitu saja. Ia butuh bukti, konsistensi dan yang paling sulit adalah kejujuran. Mekanisme self-declare yang beritanya telah dimuat di situs kumparan beberapa waktu lalu yang ditawarkan pemerintah, justru menguji moralitas pelaku usaha. Ia bukan sistem kontrol yang ketat dari luar, melainkan janji dari dalam. Apakah pemilik warung benar-benar jujur mencatat bahan baku yang digunakan? Apakah mereka sungguh-sungguh menjaga kebersihan dapur, meski tanpa pengawas yang memantau?

Dalam konteks inilah, sertifikasi halal menjadi lebih mirip cermin daripada sekadar label. Ia memantulkan wajah kesungguhan pelaku usaha. Sebuah warteg yang jujur dan bersih akan mendapatkan kepercayaan lebih, sementara yang abai akan semakin ditinggalkan konsumen yang kini makin kritis.

Ada dimensi lain yang jarang dibicarakan: sertifikasi halal juga menyentuh martabat. Ia menunjukkan bahwa warung-warung kecil, yang selama ini dipandang remeh, bisa berdiri sejajar dengan restoran besar dalam standar kualitas. Tidak ada lagi pembeda antara “kaki lima” dan “bintang lima” jika keduanya sama-sama punya komitmen halal yang kuat. Dengan begitu, maka label halal bukan sekadar alat dagang, melainkan juga alat untuk mengangkat harga diri pelaku usaha kecil.

Tetapi jalan menuju ke sana tentu tidak mulus. Banyak pemilik warung masih merasa terintimidasi oleh bahasa birokrasi, formulir dan istilah teknis. Padahal, esensi program ini bukan pada kerumitan prosedur, melainkan pada kemauan untuk berkomitmen. Pemerintah bisa menyiapkan jalur cepat, tetapi tanpa niat jujur dari pelaku usaha, sertifikasi halal hanya akan jadi formalitas di atas kertas.

Krisis kepercayaan ini justru menjadi tolok ukur bagi kita semua. Apakah sertifikasi halal akan kita maknai sebagai beban tambahan, atau sebagai kesempatan untuk naik kelas? Apakah ia hanya akan dipandang sebagai tiket legalitas, atau sebagai titik tolak budaya baru di dunia kuliner rakyat: budaya kebersihan, transparansi dan tanggung jawab?

Di balik angka-angka besar yang ditargetkan, ada kisah kecil yang lebih penting: warung di pinggir jalan yang kini berani menempel label halal di kacanya dengan bangga, pelanggan yang makan dengan hati tenang dan keluarga pemilik usaha yang melihat rezeki mereka semakin berkah. Semua itu tidak lah...

Read Entire Article