Prabowo Nyatakan Dukung UU Perampasan Aset, Pengamat: DPR Tunggu Apa Lagi?

3 months ago 9
Di hadapan ribuan buruh, Presiden Prabowo nyatakan dukungannya pada UU Perampasan Aset. Foto: Dok. Setneg

Di hadapan ribuan buruh yang memadati kawasan Monas pada peringatan Hari Buruh Internasional, Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya terhadap percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

Dukungan itu dinyatakannya dengan lantang dan langsung: “Dalam rangka pemberantasan korupsi, saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Saya mendukung.”

Bahkan, Presiden Prabowo tak ragu untuk menyebut bahwa negara harus bersikap tegas terhadap para koruptor.

“Enak aja udah nyolong enggak mau kembalikan aset, gue tarik aja,” ucapnya, disambut sorak massa.

Pernyataan tersebut langsung menjadi perhatian banyak pihak, termasuk pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho. Ia menyebut dukungan Presiden sebagai momen krusial yang seharusnya menjadi pemicu bagi pemerintah dan DPR untuk segera bergerak.

“Apa yang disampaikan Presiden adalah sinyal politik yang jelas dan kuat,” ujar Hardjuno dalam rilis pers, Kamis (1/5).
“Sekarang tinggal keseriusan jajaran kabinet dan mayoritas di DPR—yang notabene berasal dari partai-partai koalisi presiden—untuk menindaklanjutinya menjadi aksi nyata.”

Tunggakan Lama yang Belum Selesai

RUU Perampasan Aset bukanlah produk hukum baru. Hardjuno menjelaskan, bahwa gagasan awal RUU tersebut telah disusun sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2012, Kementerian Hukum dan HAM secara resmi memasukkan RUU ini dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun sejak itu, proses pembahasan terus tertunda, menjadikannya salah satu dari banyak tunggakan legislasi dalam sistem hukum Indonesia.

Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, draf RUU kembali diangkat. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan saat itu, Mahfud MD, bahkan telah menyusun dan mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR pada Mei 2023, dengan nomor R-22/Pres/05/2023. Namun hingga awal 2025, RUU ini belum juga dibahas di parlemen dan tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas.

“Kita sudah lebih dari satu dekade gagal menyediakan dasar hukum yang tegas untuk mengembalikan aset hasil kejahatan. Itu membuat negara terus dirugikan,” kata Hardjuno.

Ia menilai, tanpa payung hukum yang kuat, aparat penegak hukum akan terus terbentur dalam mengembalikan hasil korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya.

“Negara kehilangan triliunan rupiah yang tidak bisa disentuh karena tidak ada mekanisme legal untuk menyitanya tanpa menunggu putusan pidana. Sementara di banyak negara, mekanisme ini sudah jamak,” ujarnya.

Bukan Sekadar Teknis Hukum

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyapa buruh saat memperingati May Day 2025 di kawasan Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Menurut Hardjuno, pentingnya RUU ini tidak berhenti pada soal teknis perampasan aset. Lebih dari itu, ia menyebut RUU ini sebagai “ukuran keberanian politik”—karena menyentuh langsung pada akar kekuasaan dan potensi konflik kepentingan di lingkar elite.

“Pembuktian terbalik memang sering jadi momok. Tapi penting dipahami: itu tidak melanggar asas praduga tak bersalah. Pembuktian hanya berlaku pada harta kekayaan yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya. Negara lain sudah melakukannya,” kata kandidat doktor hukum dari Universitas Airlangga ini.

Read Entire Article