Bisphenol A (BPA) adalah bahan kimia industri yang pertama kali dibuat pada tahun 1891. Senyawa ini mulai digunakan secara luas pada tahun 1950-an sebagai bahan utama pembuatan plastik polikarbonat dan resin epoksi. Plastik polikarbonat banyak dipakai dalam wadah makanan dan minuman, galon seperti botol air, galon guna ulang, serta berbagai produk konsumsi lainnya.
Sementara itu, resin epoksi kerap digunakan sebagai pelapis bagian dalam produk logam, termasuk kaleng makanan, tutup botol, hingga saluran pasokan air. Beberapa jenis sealant gigi dan bahan komposit juga diketahui dapat mengandung BPA.
Berbagai penelitian menunjukkan BPA dapat bermigrasi ke dalam makanan atau minuman dari wadah yang mengandung bahan tersebut. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran karena paparan BPA berpotensi memengaruhi kesehatan manusia, terutama pada anak-anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Spesialis anak dr Nunki Andria Samudra, SpA, menjelaskan anak-anak lebih rentan terhadap paparan BPA lantaran ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan orang dewasa. Selain itu, tubuh anak masih dalam tahap pertumbuhan sehingga organ dan sistem tubuhnya belum matang sempurna.
Paparan pada anak juga cenderung lebih tinggi karena aktivitas sehari-hari yang sangat dekat dengan plastik. Mulai dari botol susu, penggunaan galon guna ulang sebagai sumber air minum, botol minum, wadah makanan, hingga mainan, sebagian besar terbuat dari bahan yang berpotensi mengandung BPA.
"Kalau kita lihat kan tubuh anak itu kecil. Maka paparan sedikit aja dari dosis BPA itu lebih bermakna. Misalnya kalau kita bandingin makanan dan minuman yang dikonsumsi anak, dibandingkan dengan ukuran dan berat badannya anak," ucap dr Nunki saat berbincang dengan detikcom, Jumat (22/8/2025).
"Kemudian kita bandingkan dengan makanan dan minuman yang dikonsumsi orang dewasa, dibandingkan dengan ukuran dan berat badan orang dewasa. Maka anak-anak mengkonsumsi lebih banyak makanan dan minuman per kilo berat badannya dia," lanjut lagi.
Apalagi jika wadah plastik digunakan untuk makanan panas atau melalui proses sterilisasi, migrasi BPA ke dalam makanan atau minuman bisa semakin meningkat, lalu tertelan oleh anak.
Hal ini juga didukung oleh studi yang dipublikasikan di Journal Scientific Reports berjudul 'Exposure of Elementary School-aged Brazilian Children to Bisphenol A: Association with Demographic, Social, and Behavioral Factors, and a Worldwide Comparison'.
Studi tersebut mengatakan, kehidupan awal adalah jendela perkembangan kritis yang ditandai dengan peningkatan sensitivitas proses biologis terhadap stresor lingkungan, seperti BPA atau endocrine-disrupting chemical (EDC) lainnya.
Paparan BPA mungkin lebih tinggi pada kehidupan awal dibandingkan dengan dewasa karena perbedaan fisiologi, perilaku, dan pola makan.
"Oleh karena itu, ada kekhawatiran yang lebih signifikan tentang dampak yang tidak menguntungkan dari paparan bahan kimia tersebut selama kehidupan janin dan anak usia dini," demikian bunyi studi tersebut.
BPA Dapat Mengganggu Tumbuh Kembang Anak
dr Nunki mengatakan jika paparan BPA berlangsung terus-menerus pada anak, zat dapat bertindak sebagai endocrine disruptor, yaitu senyawa yang meniru hormon tubuh, khususnya hormon estrogen, sehingga mengganggu fungsi hormonal alami.
"Ini dampaknya negatif pada kesehatan dan tumbuh-kembang anak. Kenapa bahaya? Dia merupakan endocrine disruptor ya. Jadi meniru hormon dalam tubuh, dia bisa meniru hormon estrogen dalam tubuh," kata dr Nunki.
Hal ini juga didukung oleh studi yang diterbitkan di Journal of Chemical Health Risks berjudul 'Bisphenol an Exposure and Its Multifaceted Effects on Child Health: A Comprehensive Review'. Studi tersebut mengatakan, sejak tahun 1936, BPA telah diketahui memiliki efek sebagai pengganggu endokrin (endocrine disruptor), dengan sifat anti-tiroid, anti-androgenik, estrogenik, serta anti-estrogenik.
Paparan BPA juga telah dikaitkan dengan berbagai dampak buruk pada anak, termasuk penyakit kardiovaskular, resistensi insulin, obesitas, gangguan neurobehavioral, dan gangguan reproduksi. Sebagai pengganggu endokrin, BPA dapat mengacaukan fungsi fisiologis penting, termasuk respons imun, fungsi tiroid, kesehatan metabolik, pertumbuhan janin, dan perkembangan saraf.
"Paparan BPA dikaitkan dengan berbagai konsekuensi buruk, seperti berat badan lahir rendah, obesitas, gangguan perilaku dan kognitif, hingga asma, yang semuanya menandakan adanya potensi masalah kesehatan jangka panjang," demikian bunyi studi tersebut.
Dampak BPA pada Kognitif Anak
Tak hanya itu, dr Nunki juga mengatakan paparan BPA sejak usia dini dapat memengaruhi perkembangan otak anak. Dampaknya berhubungan dengan munculnya perilaku cemas, anak menjadi lebih hiperaktif, serta mengalami gangguan konsentrasi saat belajar. Pada anak-anak, kondisi ini sangat berisiko karena masa pertumbuhan dan perkembangan otak sedang berlangsung pesat.
Hal ini juga didukung oleh sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Exposure Science & Environmental Epidemiology tentang 'Bisphenol A Exposure and Children's Behavior: A Systematic Review'. Pencarian data dilakukan melalui basis data elektronik (MEDLINE, PubMed, EMBASE, PsycINFO, CINAHL, dan ERIC), daftar referensi dari artikel yang relevan, serta abstrak konferensi (American Psychiatric Association, American Academy of Neurology, Pediatric Academic Societies, dan International Society of Environmental Epidemiology).
Studi yang dimasukkan adalah penelitian asli yang melaporkan hubungan antara paparan BPA (baik pada masa prenatal maupun masa kanak-kanak), dengan pengukuran metabolit BPA dalam urine serta hasil perilaku anak. Dari 2811 sitasi, terdapat 11 artikel yang memenuhi kriteria inklusi.
Analisis deskriptif menunjukkan bahwa paparan prenatal terhadap konsentrasi BPA ibu berhubungan dengan peningkatan gejala kecemasan, depresi, agresi, dan hiperaktivitas pada anak. Paparan BPA pada masa kanak-kanak juga dikaitkan dengan meningkatnya gejala kecemasan, depresi, hiperaktivitas, kesulitan konsentrasi, dan masalah perilaku.
"Bukti observasional yang terbatas menunjukkan adanya kaitan antara paparan BPA, baik sejak dalam kandungan maupun saat masa kanak-kanak, dengan dampak perilaku negatif pada anak. Diperlukan penelitian prospektif berbasis kohort untuk memperjelas hubungan ini," tutur studi tersebut.
Sebaiknya Pilih Wadah Makanan-Minuman BPA Free
Meski efek samping BPA tidak selalu terlihat secara langsung, dampaknya bisa muncul beberapa tahun kemudian. Karenanya, dr Nunki menyarankan orang tua untuk lebih berhati-hati dalam memilih wadah makanan maupun minuman anak, mulai dari botol susu hingga penggunaan galon sebagai sumber air minum. Ia menekankan air minum menjadi salah satu jalur paparan yang perlu diwaspadai, sebab dikonsumsi anak setiap saat.
"Air minum itu kan benar-benar dikonsumsi setiap saat. Anak-anak minum terus, mungkin tiap 2 jam, 3 jam minum. Karena sumber paparan BPA dari botol air minum dan galon itu sering tidak disadari orang tua. Jadi BPA-nya bisa larut ke air, terminum sama anak atau botol atau wadahnya diulang-ulang, pakainya sudah tergores dan akhirnya banyak yang dikonsumsi anak BPA-nya," jelasnya.
Ia juga menyarankan untuk memilih botol atau galon berlabel BPA-free dan hindari botol plastik keras bening tanpa keterangan tersebut, karena umumnya terbuat dari polikarbonat dengan kode daur ulang 7 yang berisiko mengandung BPA.
Sebagai alternatif, plastik dengan kode 1 (PET), 2 (HDPE), 4 (LDPE), dan 5 (PP) relatif lebih aman. Sebaliknya, sebaiknya hindari plastik dengan kode 3 (PVC), 6 (PS), dan 7.
Selain memperhatikan jenis plastik, orang tua juga dianjurkan tidak menuang air panas ke dalam botol plastik, tidak merebusnya, dan tidak menyimpannya di tempat yang terpapar panas. Untuk penyimpanan minuman anak di kulkas, botol kaca bisa menjadi pilihan yang lebih aman.
dr Nunki juga mengingatkan agar peralatan plastik anak, seperti botol minum atau piring, dicuci menggunakan spons lembut dan sabun cair ringan. Hindari menggosok terlalu keras karena dapat menimbulkan goresan yang justru membuat BPA lebih mudah bermigrasi ke makanan atau minuman.
"Karena paparan BPA yang aman sangat kecil, pendekatan terbaik adalah langsung memilih produk-produk yang benar-benar BPA-free. Mulai dari botol susu, wadah makanan anak, mainan plastik, hingga galon di rumah," tegas dr Nunki.
Simak Video "Aturan BPA di Indonesia, Jadi Tanggung Jawab Siapa?"
[Gambas:Video 20detik]
(suc/up)