Kisah Dokter Bedah Lakukan Operasi Usus Buntu ke Dirinya Sendiri

11 hours ago 1
Jakarta -

Kondisi darurat memaksa ahli bedah Rusia Leonid Rogozov untuk melakukan operasi usus buntu pada dirinya sendiri. Hal ini terjadi pasca dirinya mengalami sakit parah dalam perjalanan ke Antartika.

Sebagai satu-satunya dokter di tim perjalanan tersebut, ia tidak bisa meminta bantuan orang lain.

Leonid Rogozov yang kala itu masih berusia 27 tahun mulai merasa lelah, lemah, dan mual, hingga nyeri hebat muncul di sisi kanan perutnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebagai seorang ahli bedah, ia tidak kesulitan mengetahui keluhan tersebut mengarah ke radang usus buntu akut," cerita putranya, Vladislav, menceritakan momen-momen tegang, dikutip dari BBC.

"Itu adalah kondisi yang telah ia lakukan berkali-kali."

Rogozov adalah bagian dari ekspedisi Antartika Soviet keenam, sebuah tim yang terdiri dari 12 orang telah dikirim untuk membangun pangkalan baru di Oasis Schirmacher.

Stasiun Novolazarevskaya beroperasi pada pertengahan Februari 1961, dan setelah misi mereka selesai, kelompok itu bersiap untuk menghadapi bulan-bulan musim dingin yang keras.

Namun, pada akhir April, nyawa Rogozov terancam dan ia tidak memiliki harapan bantuan dari luar. Perjalanan dari Rusia ke Antartika telah memakan waktu 36 hari melalui laut, dan kapal baru akan kembali setahun kemudian. Penerbangan mustahil dilakukan karena adanya badai salju.

"Ia dihadapkan pada situasi hidup dan mati yang sangat sulit," kata Vladislav.

"Pilihannya hanya dua, ia terus menunggu bantuan yang tidak kunjung datang tau mencoba mengoperasi dirinya sendiri."

Itu bukan pilihan yang mudah. Rogozov tahu usus buntunya bisa pecah dan jika itu terjadi, hampir pasti nyawanya tidak selamat. Berulang kali Rogozov berpikir, tetapi gejalanya semakin memburuk.

"Ia harus membuka perutnya sendiri untuk mengeluarkan ususnya," kata Vladislav.

"Ia tidak tahu apakah itu mungkin dilakukan manusia."

Selain itu, saat itu adalah Perang Dingin, dengan Timur dan Barat bersaing dalam perlombaan nuklir, antariksa, dan kutub, yang bebannya berada di pundak kedua negara dan individu.

Dengan segala pertimbangan, Rogozov melakukan auto-apendektomi daripada mati tanpa melakukan apa pun.

"Saya tidak tidur sama sekali tadi malam. Rasanya sakit sekali! Badai salju menerjang jiwa saya, meratap seperti 100 serigala," tulis Rogozov, dalam buku hariannya.

"Masih belum ada gejala yang jelas bahwa perforasi akan segera terjadi, tetapi firasat buruk yang mencekam menyelimuti saya. Inilah saatnya. Saya harus memikirkan satu-satunya jalan keluar yang mungkin, mengoperasi diri saya sendiri, meski tampaknya hampir mustahil, tetapi saya tidak bisa menyerah begitu saja."

Detik-detik Operasi

Rogozov menyusun rencana terperinci tentang bagaimana operasi akan berlangsung dan menugaskan peran serta tugas spesifik kepada rekan-rekannya.

Ia menunjuk dua asisten utama untuk menyerahkan instrumen, mengatur posisi lampu, dan memegang cermin, ia berencana menggunakan pantulan cermin untuk melihat apa yang sedang dilakukannya. Direktur stasiun juga ada di ruangan itu, untuk berjaga-jaga jika salah satu asisten lainnya pingsan.

"Dia sangat sistematis, bahkan menginstruksikan mereka apa yang harus dilakukan jika ia kehilangan kesadaran," kata Vladislav.

Anestesi umum tidak mungkin dilakukan. Ia dapat memberikan anestesi lokal pada dinding perutnya, tetapi setelah ia mengiris usus buntu, pengangkatan usus buntu harus dilakukan tanpa penghilang rasa sakit lebih lanjut, agar kepalanya tetap jernih.

"Kasihan asisten-asistenku! Di menit-menit terakhir, saya melihat ke arah mereka. Mereka berdiri di sana dengan pakaian operasi putih mereka, bahkan lebih putih dari putihnya," tulis Rogozov kemudian.

"Saya juga takut. Tapi ketika saya mengambil jarum suntik berisi novocaine dan menyuntikkan sendiri suntikan pertama, entah bagaimana saya langsung masuk ke mode operasi, dan sejak saat itu saya tidak merasakan apa-apa lagi."

Rogozov berniat menggunakan cermin untuk membantunya mengoperasi, tetapi ia merasa pandangan terbalik cermin itu terlalu mengganggu sehingga ia akhirnya bekerja dengan sentuhan, tanpa sarung tangan.

Sempat Perdarahan Hebat

Saat mencapai bagian terakhir dan tersulit dari operasi, ia hampir pingsan. Ia mulai takut akan gagal di rintangan terakhir.

"Pendarahannya cukup deras, tapi saya melakukannya dengan perlahan. Setelah membuka peritoneum, saya melukai usus buntu dan harus menjahitnya," tulis Rogozov.

"Saya semakin lemah, kepala saya mulai berputar. Setiap empat hingga lima menit saya beristirahat selama 20-25 detik.

"Akhirnya, ini dia, usus buntu terkutuk itu! Dengan ngeri saya melihat noda gelap di dasarnya. Itu berarti tinggal sehari lagi dan usus buntu itu akan pecah. Jantung saya berdebar kencang dan terasa melambat, tangan saya terasa seperti karet. Yah, pikirku, semuanya akan berakhir buruk, dan yang tersisa hanyalah pengangkatan usus buntu."

Tapi dia tidak gagal. Setelah hampir dua jam, dia menyelesaikan operasinya, hingga jahitan terakhir.

Lalu, sebelum beristirahat, dia memberi tahu asistennya cara mencuci instrumen bedah, dengan tenang dan rapi, Rogozov meminum beberapa antibiotik dan obat tidur.

Itu adalah pencapaian yang luar biasa.

"Yang terpenting, dia merasa lega karena memiliki kesempatan lain untuk hidup," kata Vladislav.

Rogozov kembali ke tugas normalnya hanya dua minggu kemudian pasca operasi tersebut.

(naf/kna)


Read Entire Article