Kasus TBC Resisten Obat Masih Tinggi, Wamenkes Soroti Hal Ini

1 week ago 8
Jakarta -

Indonesia masih menghadapi tantangan besar menanggulangi tuberkulosis (TBC) resisten obat. Per 2024, terdapat sekitar 12.000 kasus TB resisten obat dengan tingkat keberhasilan pengobatan baru di angka 59 persen.

Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono menegaskan kondisi ini harus menjadi perhatian serius.

"Tantangan kita untuk melakukan penatalaksanaan TBC resisten ada di hadapan kita. Keberhasilannya harus terus meningkat ke depan," ujar Dante di Jakarta, Kamis (2/10/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Dante, hadirnya regimen pengobatan baru bernama BIPAL-M atau Bipalem membawa angin segar bagi pasien TB resisten obat. Jika sebelumnya terapi bisa berlangsung hingga 18 bulan dengan konsumsi lebih dari 20 tablet per hari, kini pengobatan cukup enam bulan saja, dengan hanya 4 hingga 5 tablet per hari.

"Dengan regimen lama, pengobatan TB resisten bisa menghabiskan hingga Rp 120 juta per pasien. Sementara dengan BIPAL-M, jika patuh berobat, biayanya hanya sekitar Rp 9 juta," lanjut Dante.

Selain lebih terjangkau, terapi singkat diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan pasien yang selama ini menjadi tantangan utama. Banyak kasus TB resisten obat muncul akibat pasien menghentikan pengobatan di tengah jalan, sehingga obat standar tak lagi efektif.

Target 2025

Kementerian Kesehatan menegaskan komitmennya mempercepat penanganan TB di Indonesia. Mengacu pada estimasi World Health Organization (WHO), jumlah kasus TBC di Tanah Air mencapai 1,09 juta orang setiap tahun.

"Yang paling penting adalah upaya notifikasi. Jadi, 1.090.000 orang itu harus dicek semua sebelum diobati. Target kita, 90 persen di tahun 2025 sudah dicek secara total, dan setelah dicek langsung diobati. Inilah yang disebut enrollment target," jelas Dante.

Ia menambahkan, capaian pengobatan TBC kini menunjukkan progres positif.

"Enrollment target juga 90 persen, dan untuk saat ini yang sudah ditemukan sudah tercapai enrollment obatnya. Tingkat kesembuhan sudah mencapai 90 persen sesuai target. Kita akan melakukan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, semua harus diberdayakan supaya pengobatan TBC ini berjalan," katanya.

Sementara Direktur Yayasan Riset dan Pelatihan Respirasi Indonesia Prof Erlina Burhan, menilai regimen baru Bipalem sebagai terobosan besar. Menurutnya, selain lebih singkat, efek samping obat juga lebih dapat dikelola.

"Selama ini, pengobatan TB resisten obat menjadi masalah besar karena pasien harus menjalani terapi hingga 18 bulan dengan jumlah obat yang sangat banyak. Dengan Bipalem, pengobatan cukup enam bulan saja. Obat yang diminum hanya 4 hingga 5 tablet per hari, dan efek sampingnya lebih bisa dimanage," jelasnya.

Bahkan, kata Dante, ke depan pemerintah bersama lembaga riset internasional akan memulai uji klinis terapi super singkat, hanya satu bulan pengobatan. Uji klinis ini dijadwalkan berlangsung pada 2027 hingga 2029.

Jalan Panjang Menuju Eliminasi TB

Meski berbagai inovasi hadir, Dante mengingatkan bahwa obat tidak cukup. Peran tenaga kesehatan dalam mendampingi pasien sejak awal hingga akhir pengobatan tetap menjadi kunci.

"Dalam upaya menurunkan angka TBC, kita berhadapan dengan berbagai macam hal di masyarakat. Salah satunya adalah TBC resisten obat yang tidak bisa diobati dengan obat standar. Maka, pendampingan pasien sangat penting agar terapi benar-benar tuntas," tegasnya.

Simak Video "Video Cegah Korupsi Berulang, Wamenkes: Buat Sistem yang Rigit"
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)


Read Entire Article