Inggris dan Prancis Akui Palestina, Solusi Dua Negara Semakin Terbuka

1 day ago 2

Langkah Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, untuk mengakui Palestina, paling cepat pada bulan September 2025, menandai titik balik dramatis dalam posisi Inggris terhadap konflik Israel-Palestina.

Setelah puluhan tahun bertahan pada paradigma pengakuan di akhir proses perdamaian, kini Inggris mengisyaratkan akan bergerak sebelum tercapainya kesepakatan damai final. Ini merupakan transformasi geopolitik penting yang perlu dibaca dalam kerangka strategi pertahanan global dan tata ulang arsitektur keamanan internasional.

Langkah ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Starmer menetapkan tiga prasyarat kepada Israel, yaitu gencatan senjata, komitmen pada solusi dua negara, dan penghentian aneksasi Tepi Barat. Tanpa pemenuhan ketiganya, Inggris siap bergabung dengan 15 negara lain yang mengakui Palestina di Sidang Umum PBB.

Dinamika ini menunjukkan pergeseran diplomasi pengakuan, dari taktik tekanan politik menjadi perangkat strategi keamanan kolektif.

Pengakuan negara Palestina oleh Inggris berarti perubahan peta strategis kawasan. Berdasarkan teori geopolitik klasik menurut Halford Mackinder, penguasaan atas jantung kawasan (heartland) seperti Timur Tengah akan menentukan stabilitas global.

Dengan mengakui Palestina, Inggris secara tidak langsung mengintervensi keseimbangan kekuatan antara pihak yang mendukung solusi dua negara dan yang menolaknya.

Strategi Starmer mencerminkan prinsip realisme konstruktif dalam politik luar negeri. Inggris tidak semata-mata bersimpati terhadap penderitaan Palestina, tetapi juga membaca bahwa status quo tak lagi menjamin kepentingan nasionalnya di Timur Tengah. Guncangan keamanan regional berdampak pada arus migrasi, ekstremisme lintas batas, dan jalur pasokan energi global. Hal ini menjadi isu inti dalam strategi pertahanan nasional Inggris.

Konsekuensi dari pengakuan ini adalah normalisasi diplomatik penuh, termasuk pembukaan kedutaan besar Palestina di London dan sebaliknya. Simbolisme ini penting karena mengafirmasi prinsip dalam hukum internasional, yaitu pengakuan negara adalah fondasi legitimasi. Dalam perspektif teori pertahanan global, legitimasi adalah prasyarat stabilitas dan keamanan kawasan.

Langkah Inggris memperkuat langkah, serupa dengan apa yang diumumkan Presiden Prancis, Emmanuel Macron. Keduanya menetapkan tenggat yang sama, yaitu pada September 2025.

Prancis dan Inggris adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Bila langkah ini direalisasikan, maka empat dari lima anggota tetap telah mengakui Palestina. Tinggal Amerika Serikat yang tersisa, membuat posisi AS semakin terisolasi secara diplomatik.

Konstelasi ini memiliki implikasi besar bagi tata kelola keamanan global. Dalam teori keamanan kolektif, seperti yang digagas dalam Piagam PBB, stabilitas dicapai melalui konsensus besar antarnegara besar. Ketika sebagian besar kekuatan global mengakui Palestina, tekanan terhadap Israel dan AS akan meningkat, baik dalam forum multilateral maupun bilateral.

Indonesia harus membaca momen ini secara strategis, bukan hanya normatif. Sebagai negara dengan posisi historis mendukung Palestina, Indonesia punya peluang untuk mendorong lebih jauh agenda rekognisi, namun dalam bentuk yang lebih taktis, seperti mendorong kehadiran pasukan perdamaian PBB untuk misi stabilisasi di Gaza.

Pesawat menjatuhkan bantuan kemanusiaan di atas Gaza, Minggu (27/7/2025). Foto: Bashar Taleb / AFP

Dalam perspektif geopolitik pertahanan nasional, stabilisasi Gaza adalah instrumen untuk memutus mata rantai radikalisasi regional dan melindungi kepentingan strategis Indonesia sebagai kekuatan maritim Indo-Pasifik. Ketegangan di Timur Tengah berdampak langsung pada harga minyak, suplai energi, dan jalur perdagangan global yang dilewati kapal-kapal Indonesia.

Gencatan senjata bukan sekadar taktik negosiasi. Dalam etika perang modern (jus in bello), gencatan senjata adalah tanggung jawab moral dan kewajiban hukum internasional. Indonesia harus menyerukan gencatan tanpa syarat, terutama karena krisis kemanusiaan di Gaza telah mencapai tingkat pelanggaran HAM berat.