Banyuwangi -
Untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW, masyarakat Banyuwangi punya tradisi endog-endogan. Tradisi ini merupakan salah satu warisan budaya Banyuwangi yang unik dan penuh makna.
Bagi masyarakat Banyuwangi, terutama komunitas Using, endog-endogan bukan sekadar perayaan, tetapi juga ungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW, sekaligus sarana memperkuat syiar Islam di Bumi Blambangan.
Sejarah Tradisi endog-endogan
Dilansir dari Repository Unej, tradisi endog-endogan tercatat sudah ada sejak tahun 1777, masa ketika para misionaris VOC berusaha menyebarkan agama Nasrani di wilayah Banyuwangi. Pada masa itu, para ulama dan masyarakat setempat memanfaatkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai media dakwah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka merangkai telur rebus hias menjadi arak-arakan meriah yang kemudian dikenal sebagai tradisi endog-endogan. Keberadaan tradisi ini juga terkonfirmasi dalam Cathetan Raden Sudira pada awal 1930-an, hasil riset tentang Banyuwangi atas perintah peneliti Belanda Theodoore Pigeaud.
Dalam manuskrip yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Indonesia, disebutkan adanya hidangan ancak dan telur hias (endog-endogan) dalam perayaan Maulid Nabi, sebagaimana yang dikenal masyarakat Banyuwangi hingga kini.
Dalam cerita lisan masyarakat, yang dilansir dari arsip pemberitaan detikJatim, tradisi ini bahkan diyakini pertama kali dicetuskan KH Abdullah Faqih dari Cemoro, Songgon.
Menurut penulis buku Islam Blambangan, Ayung Notonegoro, setiap sisi tradisi endog-endogan memiliki nilai filosofis yang melambangkan ajaran Islam. Telur dengan tiga lapisannya mencerminkan Islam, Iman, dan Ihsan sebagai lapisan spiritual yang harus dimiliki seorang muslim.
Sejak awal kemunculannya, tradisi endog-endogan mengalami pasang surut. Ada masa ketika tradisi ini dijalankan meriah, ada masa ketika hampir terpinggirkan oleh arus modernisasi.
Namun, pada tahun 1995, pemerintah daerah Banyuwangi mulai memberi perhatian khusus dengan memasukkannya dalam agenda resmi pariwisata. Sejak itu, tradisi ini dikemas lebih menarik untuk memikat wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Kini, tradisi endog-endogan semakin berkembang. Arak-arakan berlangsung lebih terorganisir, hiasan telur semakin kreatif, dan fungsi sosialnya semakin kuat sebagai sarana mempererat kebersamaan warga.
Setiap wilayah di Banyuwangi bahkan memiliki ciri khas tersendiri dalam menghias jodang dan menggelar prosesi. Kondisi ini menunjukkan kekayaan budaya lokal yang tetap lestari.
Rangkaian Acara Tradisi Endog-endogan
Tradisi endog-endogan di Banyuwangi memiliki susunan acara yang sarat makna dan nilai kebersamaan. Setiap tahapannya mencerminkan kekayaan budaya Using, sekaligus semangat umat Islam dalam memperingati Maulid Nabi. Berikut rangkaian tradisi endog-endogan yang biasa digelar masyarakat Banyuwangi.
1. Persiapan Telur Hias dan Jodang
Warga menyiapkan ribuan telur rebus yang dihias beraneka warna. Telur-telur ini ditancapkan pada batang pisang atau jodang. Satu jodang biasanya memuat sekitar 50 telur, masing-masing ditempatkan dalam wadah kecil yang menarik.
2. Arak-arakan Telur Sambil Bersalawat
Pada hari pelaksanaan, warga mengenakan pakaian serba putih sebagai simbol kesucian. Mereka mengarak jodang telur keliling kampung sambil diiringi rebana, musik-musik Islami,dan melantunkan salawat Nabi Muhammad SAW. Ribuan warga dari berbagai penjuru berkumpul, melambangkan lima waktu salat wajib.
3. Tausiah dan Doa Bersama
Acara diisi dengan tausiah agama yang dilakukan para ulama. Tausiah ini mengingatkan makna peringatan Maulid Nabi dan nilai Islam, iman, serta ihsan yang disimbolkan telur dalam tradisi endog-endogan.
Sebagai penutup acara, warga duduk bersama menikmati nasi ancak-nasi dan lauk yang disajikan di nampan daun pisang untuk dimakan oleh 4-5 orang. Momen ini menjadi simbol keguyuban, gotong royong, dan persaudaraan antarwarga.
---
Artikel ini sudah tayang di detikJatim. Baca selengkapnya di sini.
(auh/ddn)