Sejumlah dokter dari RSUP Dr Sardjito, Rumah Sakit Akademik UGM, mahasiswa, hingga guru besar UGM berkumpul di Lapangan Pancasila UGM, Rabu (7/5) sore.
Mereka yang menamai diri sebagai Sivitas Akademika Bulaksumur berkumpul dengan mengenakan baju hitam dan pita merah putih di lengan. Mereka menggelar aksi bertajuk "Suara Keprihatinan Bulaksumur".
Guru Besar UGM Prof Budi Yuli Setianto mengatakan Kemenkes membentuk kolegium, padahal selama ini sudah ada kolegium dari masing-masing organisasi profesi dan disiplin ilmu.
"Kita tidak menentang undang-undang kesehatan atau kolegium tersebut tetapi dengan adanya kolegium yang baru itu terjadi pergeseran tentang wewenang," jelas Budi usai acara.
Budi yang juga dokter di RSUP Dr Sardjito ini menjelaskan tugas kolegium adalah membuat standar kompetensi dan kurikulum sehingga dengan adanya kolegium baru terjadi pergeseran wewenang.
"Maka kami berpikir untuk mengangkat diskusi. Sehingga timbul lah beberapa hari yang lalu kita mengundang kemenkes, menteri dikti saintek, juga pakar pendidikan untuk diskusi tentang masalah ini," katanya.
Pemikiran ini justru berlanjut kepada keprihatinan. Para dokter yang kritis terhadap kebijakan ini justru dimutasi.
"Karena beberapa sejawat itu terjadi suatu dengan adanya peraturan wewenang dari kolegium kesehatan di mana kolegium sebetulnya tidak diakui itu menjadikan apabila kita menyuarakan, mengkritisi itu ada suatu SK dimutasikan," katanya.
"Teman-teman menjadi takut bersuara," jelasnya.
Sehingga dengan acara ini, pihaknya menegaskan bukan menentang tetapi berharap ada diskusi sebelum ada kebijakan mutasi.
"Yang notabene orang (yang) dipindahkan adalah orang yang penting dalam dunia pendidikan untuk mengajari dokter spesialis," pungkasnya.
Dewan Guru Besar Angkat Bicara
Sekretaris Dewan Guru Besar UGM Prof Wahyudi Kumorotomo mengatakan kolegium adalah lembaga yang secara profesional sudah ada selama bertahun-tahun dan menjadi standar kompetensi dokter.
"Kalau kemudian kolegium itu diambil alih hanya berlandaskan kepentingan, ini ada bahayanya. Kualitas kesehatan, kompetensi para dokter akan menjadi kurang," kata Wahyudi.
Wahyudi juga prihatin dengan dicabutnya surat tanda registrasi (STR) dokter. "Andaikan ada dokter yang menentang surat STR-nya dicabut. Dan implikasi pencabutan hak-hak dokter ini akan sangat meluas," katanya.
Pertama, kata Wahyudi, dokter akan menjadi merasa tak nyaman karena setiap saat takut apabila yang dilakukannya bertentangan dengan kolegium bentukan kementerian.
"Yang kedua dokter tentu saja tidak bisa kita pastikan pendidikan kedokteran terutama spesialis itu betul-betul standar kualifikasinya m...