Anxiety menjadi salah satu masalah mental yang paling sering dialami generasi muda. Istilah ini bahkan populer di kalangan Gen Z, kerap ramai dibahas di sejumlah platform media sosial.
Meski pembahasan anxiety umumnya edukatif, Dr dr Ray Wagiu Basrowi, pakar kedokteran komunitas yang banyak meneliti perilaku sosial, mewanti-wanti risiko anxiety menular.
Menurutnya, anxiety atau kecemasan dapat menular karena mekanisme alami di otak manusia yang disebut mirror neurons. Sel saraf ini berfungsi meniru emosi atau perilaku orang lain secara otomatis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika kita melihat seseorang sedang panik atau mendengar cerita penuh kecemasan, otak kita ikut menyalakan sistem yang sama. Lama-kelamaan, otak belajar untuk meniru pola cemas itu, mirip proses social cognitive learning," jelas Dr Ray.
Fenomena ini juga menjelaskan alasan di balik suasana hati dalam kelompok bisa berubah begitu cepat. Misalnya, ketika satu orang panik di tengah kerumunan, rasa panik itu dengan mudah menyebar ke orang lain.
Di era digital, hal yang sama terjadi melalui layar smartphone, konten yang memuat kecemasan berlebihan, curhat negatif, atau berita penuh kekhawatiran bisa memengaruhi emosi penontonnya tanpa disadari.
Efek Anxiety di Era Medsos
Generasi muda, khususnya Gen Z, sangat dekat dengan media sosial. Platform seperti TikTok, X, dan Instagram sering menjadi ruang berbagi pengalaman tentang kecemasan, burnout, hingga overthinking. Meski sebagian konten dimaksudkan untuk saling mendukung, tak jarang paparan berlebihan justru memperburuk kondisi mental penggunanya.
"Kalau terlalu sering melihat konten anxiety, otak kita terbiasa berada dalam mode cemas. Akhirnya, kita mudah khawatir meski tidak ada penyebab nyata," ujar Dr Ray.
"Karena itu, berhati-hatilah dengan apa yang dikonsumsi, bukan hanya makanan, tetapi juga informasi."
Ia menambahkan, mekanisme penularan emosi sebenarnya alami. Sama seperti kita ikut tertawa saat melihat orang lain tertawa, atau merasa sedih ketika melihat seseorang menangis. Bedanya, dalam konteks kecemasan, penularan ini bisa menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan mental jika tidak disadari dan dikelola dengan baik.
Menurut Dr Ray, menjaga kesehatan mental bukan hanya soal mengendalikan emosi pribadi, tetapi juga tentang mengatur lingkungan emosional dan informasi yang kita serap setiap hari. Konsep ini dikenal dengan istilah life hygiene, kebersihan hidup mental dan sosial.
Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan antara lain:
Batasi paparan konten negatif:
Kurangi waktu menonton atau membaca hal-hal yang memicu kecemasan berlebihan.
Pilih akun positif:
Ikuti konten kreator yang memberi edukasi, inspirasi, dan energi baik.
Latih kesadaran diri:
Praktik mindfulness atau refleksi diri membantu mengenali emosi dan memutus rantai penularan cemas.
Bangun lingkungan suportif:
Bergaul dengan orang-orang yang tenang, rasional, dan punya semangat positif.
Cari pertolongan profesional bila perlu:
Konsultasi dengan psikolog atau psikiater bukan tanda kelemahan, melainkan langkah bijak menjaga kesehatan diri.
Fenomena 'anxiety yang menular' menjadi pengingat bahwa kesehatan mental bersifat kolektif. Apa yang kita bagikan dan konsumsi setiap hari memengaruhi kesejahteraan emosional bersama.
"Kalau kecemasan bisa menular, maka ketenangan juga bisa kita sebarkan," tutup Dr Ray.
Simak Video "Video: Psikolog Sebut MBTI Bisa Jadi Preferensi dalam Bersosialisasi "
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)