BPA Bisa Memicu Kanker? Ini Fakta Ilmiah yang Pernah Diungkap

3 weeks ago 27
Jakarta -

Terdapat kekhawatiran di tengah masyarakat berkaitan dengan dampak Bisphenol A (BPA) pada kesehatan. BPA yang masuk ke dalam tubuh disebut-sebut dapat memicu berbagai penyakit serius seperti gangguan janin, gangguan reproduksi, gangguan perkembangan anak, hingga kanker.

Sebenarnya apa itu BPA? Dikutip dari National Health Institute of Environmental Health Science, BPA adalah bahan kimia yang biasanya diproduksi dalam jumlah besar, utamanya sebagai bahan baku plastik polikarbonat. Biasanya bahan ini digunakan untuk produksi wadah makan atau minuman.

Berkaitan dengan hal tersebut, pakar hemato-onkologi Prof Zubairi Djoerban mengungkapkan memang ada sejumlah studi yang menunjukkan kandungan BPA bersifat karsinogenik. Ini membuat BPA memang bisa berperan dalam proses pembentukan kanker di tubuh melalui berbagai mekanisme biologis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"BPA bisa memengaruhi mitosis (pembelahan sel), ekspresi gen, dan jalur biologis yang berperan dalam tumbuhnya kanker," ucap Prof Zubairi dalam sebuah kesempatan.

Salah satu studi yang menunjukkan kaitan BPA dan peningkatan risiko kanker diterbitkan dalam jurnal Environmental Science and Pollution Research pada tahun 2021, dengan judul 'A comprehensive review on the carcinogenic potential of bisphenol A: clues and evidence'.

Dijelaskan dalam jurnal tersebut ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko migrasi BPA. Beberapa di antaranya seperti wadah polikarbonat terlalu sering dipanaskan, dicuci menggunakan detergen yang keras, dan wadah diisi cairan asam.

Setelah diserap oleh tubuh, umumnya BPA diproses di liver melalui proses glukuronidasi atau sulfonasi agar dapat dibuang melalui empedu atau urine. Proses tersebut dibantu oleh enzim UDP-glukuronosilransferase 2B15 (UGTs) yang berperan penting dalam menetralkannya. Jika enzim ini terganggu, BPA tetap berada dalam bentuk bebas aktif secara biologis.

BPA juga dapat mengikat reseptor sel, seperti reseptor estrogen, reseptor androgen, reseptor terkait estrogen, tiroid, dan peroxisome proliferator-activated receptors (PPAR), sehingga mengganggu fungsi jalur sinyal sel. Gangguan ini memengaruhi biosintesis dan metabolisme steroid yang erat kaitannya dengan perkembangan kanker.

"Modulasi jalur-jalur ini telah dikaitkan dengan perkembangan kanker. Sebagai contoh, ekspresi abnormal reseptor estrogen berperan penting dalam perkembangan karsinoma payudara, ovarium, hati, dan endometrium tingkat rendah," tulis peneliti.

Peneliti menambahkan mekanisme karsinogenik BPA juga melalui sifat estrogeniknya. BPA mampu 'meniru' hormon estrogen lalu memicu perubahan jalur genomik maupun non-genomik dalam sel. Perubahan tersebut dapat mengacaukan fungsi biologis normal dan mendorong pertumbuhan sel abnormal, yang memicu kanker.

Melalui mekanisme-mekanisme tersebut, BPA dianggap berpotensi meningkatkan risiko kanker meskipun dalam dosis yang rendah.

"BPA mengikat membrane estrogen receptors (mERs), nuclear ERs, dan reseptor GPR30, lalu mengubah jalur pensinyalan genomik maupun non-genomik dengan cara berbeda pada berbagai jenis sel. Hal ini mengubah fungsi biologis normal dan akhirnya mengarah pada karsinogenesis," ungkap peneliti.

Adapun beberapa jenis kanker yang dikaitkan dengan paparan BPA dalam penelitian tersebut meliputi kanker payudara, endometrium, ovarium, serviks, dan prostat.

BPA biasanya ditemukan dalam produk-produk seperti jendela anti-pecah, kaca mata, botol minum, resin epoksi yang melapisi beberapa kaleng makanan, tutup botol, pipa saluran air, hingga galon air guna ulang.

Penggunaan galon guna ulang memang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS), ada sekitar 34,49 persen rumah tangga di Indonesia menjadikan air kemasan bermerk atau air isi ulang sebagai sumber minum mereka. Ini menunjukkan ketergantungan yang besar terhadap air isi ulang.

Dalam kasus penggunaan galon guna ulang, potensi migrasi BPA dari air minum dapat terjadi melalui proses distribusi, penyimpanan, dan pencucian galon secara berulang. Perpindahan atau migrasi inilah yang dikhawatirkan banyak orang dapat memicu berbagai penyakit, termasuk kanker.

BPA Meningkatkan Keparahan Kanker

Studi lain yang diterbitkan dalam jurnal Cancer Research tahun 2008, berjudul Bisphenol A Induces a Profile of Tumor Aggressiveness in High-Risk Cells from Breast Cancer Patients menemukan paparan BPA dapat memperparah kondisi pasien kanker payudara. Peneliti menemukan ketika sel epitel payudara normal yang berisiko kanker terpapar BPA, sel-sel itu tidak lagi mengikuti sinyal alami untuk berdiferensiasi (menjadi lebih matang dan terlindungi).

Penelitian dilakukan dengan mengambil sel epitel payudara normal tapi berisiko kanker payudara pada pasien yang menjalani operasi kanker payudara. Sel yang diambil berasal dari sisi payudara yang tidak memiliki tumor. Sel epitel lalu dikultur bersama sel fibroblas sebagai pendukung jaringan untuk menciptakan kondisi yang lebih mirip dengan jaringan asli tubuh, sehingga efek hormon atau zat kimia lebih nyata.

Sel lalu diberi paparan Estradiol (E2) sebagai hormon estrogen alami, Progesteron (PG) sebagai hormon yang bersifat protektif, dan BPA sebagai bahan kimia pengganggu endokrin. Kombinasi paparan yang dicoba adalah E2 saja, E2+PG, serta E2+PG+BPA.
RNA dari sel lalu diambil dan dianalisis lebih lanjut. Peneliti menemukan 6 kelompok gen yang membentuk cancer-prone profile (CPRP), tanda gen yang menggambarkan kecenderungan sel menuju sifat mirip kanker.

Ditemukan BPA memicu perubahan pada pola gen sel menjadi lebih tahan hidup, lebih tahan terhadap stres lingkungan, mengalami deregulasi siklus sel, meningkatkan metabolisme, serta mengekspresikan gen-gen yang terkait resistensi obat. Artinya sel-sel normal berubah memiliki ciri-ciri mirip sel kanker yang ganas.

"Keterkaitan antara CPRP-BPA dan agresivitas kanker payudara tidak semata-mata mencerminkan korelasi antara sel-sel yang sedang berkembang biak in vitro dengan tumor berderajat tinggi. Sebaliknya, hal ini menunjukkan adanya perubahan seluler yang mungkin berperan mendasar dalam induksi dan pemeliharaan proliferasi sel yang tidak teratur pada kanker, sehingga memengaruhi kondisi pasien," tulis peneliti.

Peneliti lalu membandingkan hasil kultur sel dengan dua dataset besar pasien kanker payudara untuk melihat apakah ada pola serupa pada pasien tumor payudara yang nyata.

Hasilnya peneliti menemukan profil CPRP-BPA lebih sering dijumpai pada tumor ER-negatif, berukuran lebih dari 2 cm, dan memiliki derajat histologi yang tinggi. Seluruh temuan tersebut merupakan tanda kanker yang lebih ganas.

Peneliti menambahkan pasien yang tumornya menampilkan profil gen mirip CPRP-BPA memiliki prognosis lebih buruk.

"Data klinis juga menunjukkan bahwa tumor dengan profil gen CPRP-E2 atau CPRP-BPA memiliki prognosis yang jauh lebih buruk dibandingkan tumor dengan profil CPRP-PG," kata peneliti.

Masyarakat Harus Waspada

Kewaspadaan berkaitan dengan paparan BPA dan risiko kanker harus lebih ditangkatkan oleh masyarakat.

Seperti yang diketahui, sudah ada banyak negara yang mulai memberlakukan pelarangan penggunaan BPA dalam produk wadah makanan atau minuman plastik. Misalnya seperti Amerika Serikat dan Inggris, sudah memberlakukan penggunaan BPA untuk produk bayi, karena bayi dianggap kelompok yang lebih rentan terhadap penyakit.

Jepang dan negara-negara Uni Eropa memberlakukan pengaturan yang lebih ketat. Pelarangan penggunaan BPA diterapkan pada seluruh kelompok usia.

Untuk di Indonesia sendiri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI telah mengatur batas maksimal migrasi BPA dari kemasan sebesar 0,6 bpj (600 mikrogram/kg). Hal tersebut tertuang dalam Peraturan BPOM No 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.

Tidak hanya itu, pada Peraturan BPOM No 6 Tahun 2024 juga diatur produsen harus memberi label BPA pada kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat.

Karena hal-hal tersebut, Prof Zubairi menyarankan masyarakat untuk tetap melakukan tindak pencegahan dan lebih berhati-hati. Jangan sampai, BPA yang masuk ke tubuh akhirnya benar-benar memengaruhi kondisi kesehatan tubuh.

"Dulu kita pakai ivermectin atau oseltamivir buat COVID-19, tapi kemudian ditemukan malah berbahaya. Bukti ilmiah bisa berubah," ujarnya sambil mengingatkan untuk tidak khawatir berlebihan, tapi tetap waspada.

"Semua ahli sepakat, hindari produk mengandung BPA untuk bayi dan anak. Untuk orang dewasa, belum ada bukti kuat dan konsisten soal risiko kesehatannya," tandas Prof Zubairi.

Berikut ini beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi paparan BPA dari wadah makanan atau minuman:

  • Konsumsi minum air kemasan yang bebas dari BPA.
  • Gunakan botol susu bayi yang bebas dari BPA.
  • Jangan memanaskan wadah makanan plastik berbahan polikarbonat di microwave.
  • Gunakan alternatif yang relatif aman seperti kaca, porselin, atau stainless steel, khususnya untuk makanan atau minuman panas.
  • Jangan gunakan wadah jika sudah tergores atau rusak.

Simak Video "Video Angelina Jolie: Beberapa Hari Tersulit, Justru Jadi Hari Terindah"
[Gambas:Video 20detik]
(avk/up)


Read Entire Article