Biennale 2025: Libatkan Desa Boro Kulon Progo, Seniman Tinggal Bersama Warga

3 weeks ago 14
Salah satu karya yang ditampilkan dalam pertunjukan seni Biennale Jogja 2025. Foto: Dok. Biennale

Pertunjukan seni rupa dua tahunan Biennale Jogja kembali hadir dengan edisi ke-18. Gelaran ini mengusung tema besar “Kawruh: Tanah Lelaku” yang bisa dimaknai sebagai pengetahuan yang tumbuh dari pengalaman hidup sehari-hari.

Tahun ini Biennale Jogja digelar dalam dua babak. Babak pertama berlangsung 19–24 September 2025 di Padukuhan Boro II, Kulon Progo, sedangkan babak kedua akan digelar pada 5 Oktober–20 November 2025 di Yogyakarta, Panggungharjo, dan Bangunjiwo.

Ajang seni itu diselenggarakan bersamaan dengan Tradisi Merti Dusun di Padukuhan Boro, Kulon Progo. Foto: Biennale.

Pembukaan Biennale dimulai dari program Asana Bina Seni 2025 dengan tema Prāṇaning Boro atau “Napas Boro”. Nama itu terinspirasi dari angin yang selalu datang dan pergi, tapi tak pernah benar-benar hilang, sama seperti perjumpaan antara seniman dan warga desa.

Sejak Maret lalu, sembilan seniman muda tinggal dan berproses bersama warga Boro. Mereka ikut menyelami kehidupan sehari-hari, ngobrol dengan anak-anak sekolah, hingga mendengarkan cerita sejarah dan tradisi desa. Hasil dari pengalaman ini kemudian diolah jadi karya seni kontemporer yang dipamerkan di Boro.

“Asana Bina Seni bukan hanya soal membuat karya, tapi bagaimana seniman belajar langsung dari warga. Dari obrolan kecil sampai pengalaman bersama, semua jadi bagian penting dari karya mereka,” jelas tim kurator Biennale Jogja 18, dikutip Pandangan Jogja pada Senin (22/9).

Karya Seni dan Tradisi Desa

Dalam Babak I, ada 16 seniman dari berbagai daerah Indonesia hingga Jepang yang menampilkan karyanya. Tema yang mereka angkat beragam, mulai dari isu lingkungan, sejarah, sampai ingatan kolektif warga.

Para seniman tersebut adalah Anisyah Padmanila Sari, Barikly Farah Fauziah, Bukhi Prima Putri, Darryl Haryanto, Dionisius Maria Caraka, Egga Jaya, Faisal Kamandobat, Faris Wibisono, I Kadek Adi Gunawan, Ismu Ismoyo, Mailani Sumelang, Perupa Kulonprogo, Sri Cicik Handayani, Taufik Hidayat, Vina Puspita, serta Yuta Niwa dari Jepang.

Pembukaan Biennale berbarengan dengan tradisi Merti Dusun atau syukuran desa yang tiap tahun diadakan warga Boro. Perpaduan antara acara seni rupa dan tradisi desa ini jadi simbol bagaimana seni bisa hadir di tengah masyarakat, bukan hanya di galeri.

Setelah dari Boro, rangkaian Biennale Jogja 18 akan dilanjutkan di Yogyakarta, Panggungharjo, dan Bangunjiwo. Seniman lain seperti Fioretti Vera dan Gata Mahardika akan melanjutkan eksplorasi karya dengan cara berbeda, tapi tetap membawa semangat “Kawruh” sebagai pengetahuan yang tumbuh bersama masyarakat.

Read Entire Article