Direktur Eksekutif Reforminer Institut, Komaidi Notonegoro, menuturkan hal ini dapat terjadi karena Iran menguasai Selat Hormuz yang memegang peran penting dan berpengaruh terhadap 40 hingga 50 persen perdagangan minyak global.
Komaidi menjelaskan, berdasarkan perhitungan Reforminer Institut, setiap kenaikan BBM sebesar USD 1 per Barel, Indonesia harus merogoh kocek Rp 10 triliun. Sehingga ketika kenaikan minyak sebesar USD 60 per barel, maka negara harus merogoh Rp 60 triliun untuk menutupi kenaikan harga minyak.
"Setiap (minyak) naik USD 1 dolar belanja negara itu akan naik sekitar Rp 10 triliun, kalau perang terbuka kan USD 60 kenaikannya, nah USD 60 kalau USD 1 (naik) Rp 10 triliun, (kenaikan) 60 (kali dari USD 1) dikali Rp 10 triliun itu Rp 600 triliun peningkatannya per tahun," kata Komaidi dalam diskusi Penguatan BUMN Menuju Indonesia Emas, di Jakarta Pusat, Selasa (10/9).
Angka kenaikan Rp 600 triliun per tahun ini belum ditambah dengan harga minyak semula. "Jadi kalau harganya saat itu USD 60 itu bisa menjadi USD 120, pada saat itu sudah USD 85 ditambah USD 60 itu bisa lebih besar lagi," terang Komaidi.
Komaidi memandang, kenaikan harga BBM yang harus ditanggung oleh pemerintah ini setara dengan anggaran yang digelontorkan negara untuk sektor pendidikan.
"Pendidikan kan 20 persen dari APBN. Jadi kalau sampai perang terbuka antara Iran dan Israel kemarin, itu risiko APBN yang harus ditanggung untuk menambah subsidi itu besarannya paling tidak sekitar Rp 600 triliun," jelas Komaidi.
Posisi Indonesia saat ini tidak memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan harga minyak global. Hal ini disebabkan oleh porsi konsumsi minyak hanya mengkonsumsi 1,5 juta barel BBM per hari dari total konsumsi global sebanyak 95 juta barel BBM per hari.
Jika dihitung, Indonesia hanya berkontribusi sebesar 1,57 persen dari total konsumsi global setiap harinya.
"Jadi hanya sebagian kecil dari konsumsi global, artinya selama kita nggak punya daya sama sekali untuk mengontrol harga, disebut price taker atau mengambil harganya berapa pun kita harus diambil," terang Komaidi.
"Ini menggambarkan sangat strategisnya sektor minyak kita, sementara kita harus moving (ke green energy) global sudah mendorong ke arah sana, sehingga perlu solusi yang lebih bijaksana," jelas Komaidi.