Jakarta -
Produksi minyak dan gas bumi (migas) Indonesia terus mengalami penurunan. Padahal, pemerintah telah menetapkan target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bopd) dan 12 miliar kaki kubik (bcf) di tahun 2023.
Mengutip data Kementerian ESDM, Senin (12/8/2024), lifting minyak terus menurun dari tahun 2015. Pada tahun 2015, realisasi lifting minyak tercatat 779 ribu barel per hari (bopd). Sempat naik menjadi 829 ribu bopd di 2016, tapi kemudian turun di 2017 menjadi 804 ribu bopd.
Setelah itu, lifting terus turun secara berurutan yakni 778 ribu bopd (2018), 746 ribu bopd (2019), 707 ribu bopd (2020), 660 ribu bopd (2021), 612 ribu bopd (2022), dan 605,4 ribu bopd (2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi serupa juga terjadi pada gas. Di tahun 2015 realisasi lifting gas 1,202 juta barel setara minyak per hari (boepd). Kemudian turun menjadi 1,180 juta boepd tahun 2016 dan sebanyak 1,142 juta boepd tahun 2017. Secara berurutan, realisasi lifting migas yakni 1,145 juta boepd (2018), 1,059 juta boepd (2019), 983 ribu boepd (2020), 995 ribu boepd (2021), 953 ribu boepd (2022), dan 960 ribu boepd (2023).
Belum lama ini, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, produksi minyak memang terus menurun beberapa tahun ini. Hal ini terjadi karena lapangan migas Indonesia relatif sudah tua. Dia bilang, saat ini pihaknya berupaya mendorong produksi minyak tersebut.
"Dari 2020 itu kita memang minyaknya memang anjlok terus. Coba untuk ditahan, tapi memang kita sekarang mengelola lapangan-lapangan tua dan belum ketemu prospek lapangan minyak baru. Dan kita sedang mengupayakan, prospeknya ada," katanya dikutip Senin (12/8/2024).
Dia bilang, lifting gas memang sempat turun. Namun, sekarang sudah ada tren kenaikan. Apalagi, dia bilang, belakangan ada temuan sumber gas raksasa. Dia optimistis, target 12 bcf di 2030 dapat tercapai.
"Mengenai gas bumi, memang sempat turun, tapi sekarang sudah ada tren kenaikan. Jadi kalau misalnya target 1 juta barel minyak 2030, nanti ada upaya-upaya apa yang kita lakukan," ujarnya.
"Kemudian mengenai gas 12 bcf, insyaallah bisa ketemu. Jadi dengan adanya temuan-temuan baru, prospek di Andaman, South Andaman, dan juga di Selat Makassar. Gas ini nanti kita pakai banyak ke dalam negeri, untuk menjadi andalan kita untuk bisa mendukung transisi energi," sambungnya.
Sejalan dengan penemuan sumber migas jumbo tersebut, pemerintah mendorong pembangunan pipa transmisi Cirebon-Semarang dan Dumai-Sei Mangkei (Dusem). Dengan adanya pipa transmisi ini, diharapkan akan membuka wilayah jaringan-jaringan distribusi gas. Wilayah itu didorong menyediakan jaringan gas ke industri hingga ke rumah tangga.
Arifin mengatakan penyaluran gas tersebut tersebut diharapkan dapat mengurangi impor LPG yang kini telah mencapai 6 juta ton per tahun. "Karena dengan adanya itu kita bisa mengurangi impor LPG. Dengan adanya itu kita bisa mengurangi impor LPG. Jadi sekarang kan kita impor LPG lebih dari 6 juta ton setahun. Kalau harganya US$ 575 per ton, dikali-kaliin aja tuh," kata Arifin.
Data Kementerian ESDM menunjukkan, impor LPG ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, impor LPG tercatat 3,29 juta ton. Selama 10 tahun berselang, impor LPG mencapai 6,95 juta ton di tahun 2023. Berikut data impor LPG dari 2013-2023:
1. Tahun 2013: 3.299.808 ton
2. Tahun 2014: 3.604.009 ton
3. Tahun 2015: 4.237.499 ton
4. Tahun 2016: 4.475.929 ton
5. Tahun 2017: 5.461.934 ton
6. Tahun 2018: 5.566.572 ton
7. Tahun 2019: 5.714.693 ton
8. Tahun 2020: 6.396.962 ton
9. Tahun 2021: 6.336.354 ton
10. Tahun 2022: 6.739.131 ton
11. Tahun 2023: 6.950.651 ton.
(acd/rrd)