Berita mengenai Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan APBN untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh menjadi berita yang ramai dibaca pada Minggu (12/10).
Selain itu, berita soal Pemerintah China yang meminta Amerika Serikat (AS) untuk menghentikan ancaman tarif yang lebih tinggi terhadap produk-produk asal China ke AS juga menjadi salah satu pemberitaan yang banyak dibaca.
Purbaya Tolak Bayar Utang Whoosh
Terkait penolakan penggunaan APBN untuk pembayaran utang Whoosh, Purbaya melihat utang Whoosh berada di bawah pengelolaan Danantara. Selain itu, sejak Maret 2025 negara sudah tak lagi menerima dividen dari BUMN karena keberadaan Danantara.
Proyek Whoosh merupakan proyek yang digarap oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT KAI dan konsorsium BUMN yang diketuainya. Utang PT KAI untuk membayar biaya pembengkakan proyek sendiri ada pada angka Rp 6,9 triliun dari China Bank Development (CDB).
Sedangkan secara keseluruhan proyek Whoosh telah menelan biaya USD 7,27 miliar atau sekitar Rp 120 triliun (kurs Rp 16.570 per dolar AS), termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) senilai USD 1,2 miliar atau Rp 19,8 triliun.
China Minta AS Setop Ancaman Tarif
Selain meminta AS untuk menghentikan ancaman tarif, China juga mendorong adanya negosiasi lanjutan. Hal ini agar kesepakatan dagang bisa diraih.
“Mengancam dengan tarif tinggi setiap saat bukanlah cara yang tepat untuk berhubungan dengan China. China mendesak AS segera memperbaiki tindakan-tindakan kelirunya,” kata Kementerian Perdagangan China dikutip dari Bloomberg.
AS memang menerapkan tarif tambahan sebesar 100 persen untuk seluruh ekspor China ke AS. Sebagai langkah defensif, China juga melakukan beberapa langkah.
Adapun langkah yang disebut defensif oleh Kementerian Perdagangan China tersebut meliputi biaya pelabuhan baru untuk kapal AS, memulai penyelidikan antimonopoli terhadap Qualcomm Inc. Sebelumnya, China juga memberlakukan pembatasan besar-besaran pada ekspor logam tanah jarang serta bahan penting lainnya.
Terkait pembatasan ekspor logam tanah jarang, Kementerian Perdagangan China menjelaskan langkah tersebut bukanlah larangan ekspor total. Permohonan izin yang memenuhi syarat akan tetap disetujui. China juga sudah mengkoordinasikan aturan ini dengan negara tujuan ekspor.