Kerajaan Yordania yang dipimpin Raja Abdullah II menggelar pemilu parlemen pada Selasa (10/9). Kemarahan atas perang di Gaza menjadi isu utama pemilu kali ini.
Ini merupakan pemilu pertama di Yordania setelah disahkannya reformasi pada 2022. Dengan adanya reformasi maka jumlah kursi di parlemen meningkat dan adanya lebih banyak kursi bagi perempuan.
Batas usia untuk menjadi anggota parlemen di Yordania juga diturunkan bagi semua kandidat.
Jelang pemilu mayoritas pemegang hak suara menyatakan, persoalan Gaza akan akan menjadi kekhawatiran utama bagi mereka. Sejumlah pengamat bahkan memprediksi tingkat golput pada pemilu akan sangat tinggi akibat perang Gaza.
Yordania pada 1994 meneken perdamaian dengan Israel, Mereka adalah negara kedua yang berdamai dengan Israel setelah Mesir.
Setengah populasi Yordania juga diketahui memiliki keturunan Palestina. Sejak perang Gaza pecah, kelompok ini rutin menyerukan pembatalan perjanjian damai dengan Israel.
Bahkan beberapa hari jelang pemilu seorang pria bersenjata asal Yordania membunuh tiga orang aparat keamanan Israel di perbatasan dua negara. Ini merupakan serangan pertama warga sipil Yordania ke Israel sejak 1990an.
Kekhawatiran selanjutnya adalah mengenai perekonomian Yordania yang merosot setelah perang Gaza pecah. Selain itu para pemilih juga tak yakin pemilu Yordania dapat mendorong gencatan senjata di Gaza.
"Warga sibuk dengan banyak hal, perang Gaza dan situasi ekonomi buruk. Mereka tidak tahu apa yang dicapai partai-partai itu," kata seorang warga Yordania Mohamed Jabar seperti dikutip dari AFP.
Seorang pemilih lainnya Issa Ahmad mengakui pemilu adalah hal penting bagi negara. Tetapi, dirinya tak yakin akan ada perubahan situasi baik di dalam negeri atau Gaza.
"Ini adalah kesempatan bagi kami agar suara kami didengar dan memilih siapa yang akan mewakili kami, tapi jauh di lubuk hati kami ragu akan ada perubahan signifikan," ucap Issa.
Seorang PNS Yordania, Omar Mohammed, bahkan mengakui perang Gaza adalah faktor utama kenapa dirinya tak mau menggunakan hak suaranya.
"Apa yang terjadi di Gaza, dari pembunuhan, kehancuran, dan tragedi yang disiarkan setiap hari di televisi, membuat kami merasakan sakit, ketidakberdayaan, penghinaan, dan degradasi, dan membuat kami melupakan pemilu dan segala hal yang terjadi di sekitar kami," kata Omar.
"Saya merasa getir. Saya belum yakin apakah saya akan memilih dalam pemilu ini," pungkas dia.